ACPO Good Practice Guide for Digital Evidence

ACPO atau “The Association of Chief Police Officers” merupakan organisasi non-profit yang telah mengembangkan panduan pelaksanaan penegakan hukum di Inggris, Wales, dan Irlandia Utara. ACPO didirikan pada tahun 1948, menyediakan forum bagi para petugas kepolisian untuk berbagi ide dan mengkoordinasikan strategi tanggapan operasional strategis, dan memberikan masukan kepada pemerintah dalam beberapa kasus, seperti serangan teroris dan keadaan darurat sipil. ACPO mengkoordinasi operasional kepolisian secara nasional, investigasi dalam skala besar, penegakan hukum secara lintas-batas, dan mengkoordinasikan penegak hukum gabungan.

ACPO mengeluarkan dokumen yang digunakan sebagai panduan untuk membantu para penegak hukum dan semua yang membantu dalam proses investigasi insiden dan kasus kejahatan keamanan dunia maya (cyber security incident and crime). Dokumen yang berjudul “ACPO Good Practice Guide for Digital Evidence” ini akan terus diperbarui sesuai dengan perubahan perundang-undangan dan kebijakan, serta akan dipublikasikan kembali seusai dengan kebutuhan. Sampai dengan saat ini, “ACPO Good Practice Guide for Digital Evidence” sudah mencapai versi 5.

Berikut adalah link dokumen “ACPO Good Practice Guide for Digital Evidence“.

ACPO GOOD PRACTICE GUIDE FOR DIGITAL EVIDENCE VERSION 5

Pada pembahasan kali ini juga akan dikemukakan keterkaitan antara dokumen “ACPO Good Practice Guide for Digital Evidence” dan Perkapolri No. 10/2010.

KETERKAITAN DOKUMEN “ACPO GOOD PRACTICE GUIDE FOR DIGITAL EVIDENCE” DENGAN PERKAPOLRI NO. 10/2010

Mengenai Perkapolri No. 10/2010, telah di-upload pada postingan “Tata Cara Pengelolaan Barang Bukti di Lingkungan POLRI“. Kaitan antara dokumen ACPO dan Perkapolri ini adalah pada prinsip-prinsip dalam penanganan barang bukti.

PRINSIP-PRINSIP PENANGANAN BARANG BUKTI

A. ACPO

  1. Tidak diperbolehkan adanya aktivitas yang dilakukan oleh badan penegak hukum, pegawai penegak hukum di dalamnya, atau personel penegak hukum yang dapat mengganti data yang mungkin kemudian dipertanggungjawabkan di pengadilan.
  2. Dalam keadaan yang memang membutuhkan diaksesnya data asli, personel yang membutuhkannya haruslah seorang yang kompeten dan dapat memberikan bukti yang menjelaskan relevansi dan implikasi dari kebutuhannya mengakses data asli tersebut.
  3. Jejak audit atau record lain dari keseluruhan proses yang diaplikasikan ke barang bukti digital harus dibuat dan dipelihara. Adanya pihak ketiga yang independen diperlukan untuk memeriksa proses-proses tersebut dan harus mendapatkan hasil yang sama.
  4. Personel yang terlibat dalam investigasi memiliki tanggung jawab penuh untuk memastikan bahwa hukum dan prinsip-prinsip ini dijalankan dengan baik.

B. PERKAPOLRI NO. 10/2010

  1. Legalitas, yaitu setiap pengelolaan barang bukti harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Transparan, yaitu pengelolaan barang bukti dilaksanakan secara terbuka.
  3. Proporsional, yaitu keterlibatan unsur-unsur dalam pelaksanaan pengelolaan barang bukti harus diarahkan guna menjamin keamanannya.
  4. Akuntabel, yaitu pengelolaan barang bukti dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, terukur, dan jelas.
  5. Efektif dan efisien, yaitu setiap pengelolaan barang bukti harus dilakukan dengan mempertimbangkan adanya keseimbangan yang wajar antara hasil dengan upaya dan sarana yang digunakan.

Prinsip ke-1 pada dokumen ACPO mencerminkan prinsip legalitas, transparan, dan proporsional. Prinsip ke-2 pada dokumen ACPO mencerminkan prinsip transparan, proporsional, dan akuntabel. Prinsip ke-3 pada dokumen ACPO mencerminkan prinsip legalitas, transparan, dan akuntabel. Sedangkan prinsip ke-4 pada dokumen ACPO mencerminkan prinsip legalitas, proporsional, akuntabel, serta efektif & efisien.

Selain itu, dapat diketahui bahwa terdapat kesamaan antara dokumen ACPO dan Perkapolri No. 10/2010 dalam hal personel yang melakukan penanganan barang bukti.

PERSONEL YANG MELAKUKAN PENANGANAN BARANG BUKTI

A. ACPO

  1. Personel yang terlibat dalam mengamankan, mendapatkan, dan memindahkan peralatan dari tempat pencarian dengan tujuan untuk memulihkan barang bukti digital, sama halnya dengan identifikasi informasi digital yang diperlukan dalam proses investigasi.
  2. Investigator yang merencanakan dan mengatur proses identifikasi, presentasi, dan penyimpanan barang bukti digital, serta penggunaan barang bukti tersebut.
  3. Personel yang melakukan pemulihan dan membuat salinan barang bukti digital dan merupakan personel yang terlatih (trained) untuk menjalankan fungsi dan mengikuti pelatihan yang relevan untuk memberikan barang bukti di pengadilan. Personel yang belum menjalani pelatihan yang sesuai dan yang tidak dapat mengikuti prinsip-prinsip penanganan barang bukti, tidak diperbolehkan untuk menjalankan aktivitas penanganan barang bukti.
  4. Personel yang terlibat dalam pemilihan dan pengaturan personel lain yang mungkin diperlukan untuk membantu proses pemulihan, identifikasi, dan interpretasi barang bukti digital.

B. PERKAPOLRI NO. 10/2010

  1. Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disingkat Polri adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.
  2. Penyidik adalah pejabat Polri yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
  3. Pejabat Pengelola Barang Bukti yang selanjutnya disingkat  PPBB  adalah anggota Polri yang mempunyai tugas dan wewenang untuk menerima, menyimpan, mengamankan, merawat, mengeluarkan dan memusnahkan benda sitaan dari ruang atau tempat khusus penyimpanan barang bukti.

Personel yang terlibat dalam proses investigasi dan utamanya proses penanganan barang bukti haruslah merupakan pihak yang berwenang terhadap hukum dan personel yang telah mendapatkan pelatihan khusus untuk melakukan proses penanganan barang bukti, yaitu mengamankan, mendapatkan, memindahkan, memulihkan, mengidentifikasi, dan menginterpretasi barang bukti sehingga dapat dipresentasikan di pengadilan.

Setelah membahas mengenai kaitan dokumen “ACPO Good Practice Guide for Digital Evidence” dan Perkapolri No. 10/2010, di bawah ini akan dibahas mengenai perbedaan yang terdapat di antara kedua dokumen tersebut.

PERBEDAAN DOKUMEN “ACPO GOOD PRACTICE GUIDE FOR DIGITAL EVIDENCE” DENGAN PERKAPOLRI NO. 10/2010

Perbedaan yang terlihat antara dokumen ACPO dan Perkapolri No. 10/2010 adalah pada jenis barang bukti.

A. ACPO

Dokumen “ACPO Good Practice Guide for Digital Evidence” mengkhususkan penanganan barang bukti digital yang dapat diambil dari:

1. Perangkat lokal end-user

  • Komputer
  • Mobile phone/smartphone
  • GPS
  • USB thumb drive
  • Kamera digital

2. Remote website yang merupakan website publik

  • Website untuk jejaring sosial
  • Website untuk forum diskusi
  • Website untuk grup berita (newsgroup)

3. Remote resource yang bersifat pribadi

  • Log aktivitas user yang didapat dari ISP
  • Billing kustomer dari perusahaan mobile phone
  • Akun email user
  • Tempat penyimpanan file milik user secara remote

B. PERKAPOLRI NO. 10/2010

Perkapolri No. 10/2010 membagi barang bukti menjadi 2 jenis, yaitu:

1. Benda bergerak

Merupakan benda yang dapat dipindahkan dan/atau berpindah dari satu tempat ke tempat
lain. Benda bergerak berdasarkan sifatnya antara lain:

  • Mudah meledak
  • Mudah menguap
  • Mudah rusak
  • Mudah terbakar

Benda bergerak berdasarkan wujudnya antara lain:

  • Padat
  • Cair
  • Gas

2. Benda tidak bergerak

Contohnya adalah sebagai berikut:

  • Tanah beserta bangunan yang berdiri di atasnya.
  • Kayu tebangan dari hutan dan kayu dari pohon-pohon yang berbatang tinggi selama
    kayu-kayuan itu belum dipotong.
  • Kapal laut dengan tonase yang ditetapkan dengan ketentuan.
  • Pesawat terbang.

KESIMPULAN

Antara dokumen Perkapolri No. 10/2010 dan “ACPO Good Practice Guide for Digital Evidence” terdapat beberapa kesamaan, yaitu dalam prinsip dan personel yang bertanggung jawab dalam menangani barang bukti. Perbedaannya adalah pada barang bukti yang ditangani. Dokumen “ACPO Good Practice Guide for Digital Evidence” mengkhususkan pada penanganan barang bukti digital, tetapi Perkapolri No. 10/2010 tidak mengkhususkan kepada penanganan barang bukti digital.

SUMBER

Leave Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *